Langsung ke konten utama

Kebisingan

"Bagaimana jika itu terjadi?"

 Ibu sering kali memberikan sebuah nasihat yang sederhana namun penuh dengan makna mendalam, "Nak, carilah pasangan yang berbeda dari ayahmu." Kalimat itu terdengar lembut, tetapi mengandung ketegasan yang sulit untuk diabaikan. Meskipun sering kali terucap dengan nada tenang, ucapan tersebut selalu membekas di ingatan. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik nasihat tersebut, sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran yang mendalam. Pada suatu hari, keinginan untuk memahami sepenuhnya maksud Ibu tidak lagi bisa tertahan, sehingga sebuah pertanyaan muncul, "Mengapa, Bu? Apa yang membuat Ibu berkata seperti itu?" Pertanyaan tersebut terucap dengan hati-hati, berharap bisa memperoleh jawaban yang memuaskan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ibu hanya terdiam, seolah memikirkan sesuatu yang sangat dalam, namun tak kunjung mengungkapkannya. Tidak ada penjelasan yang diberikan, tidak ada kata tambahan yang keluar dari bibirnya. Yang ada hanya keheningan, keheningan yang penuh dengan arti. Meski demikian, dalam keheningan itu ada sesuatu yang tersirat, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Terasa ada beban dan pengalaman panjang yang tersimpan di balik nasihat tersebut, pengalaman yang mungkin terlalu menyakitkan untuk diutarakan. Seiring berjalannya waktu, pemahaman mulai muncul. Lambat laun, tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, maksud dari nasihat tersebut menjadi semakin jelas.


Dari pandangan orang luar, keluarga ini tampak seperti keluarga yang ideal—harmonis, penuh cinta, dan rukun. Banyak orang memandang keluarga ini dengan kagum, bahkan tidak jarang menjadi bahan pujian dalam percakapan di lingkungan sekitar. Mereka melihat ayah dan ibu sebagai pasangan yang berhasil menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia, sebuah keluarga yang tampak sempurna dari luar. Gambaran ini sangat mirip dengan potret keluarga yang sering kali digambarkan dalam film atau sinetron, keluarga yang kuat dalam kebersamaan dan kasih sayang. Tidak sedikit yang menyamakan keluarga ini dengan keluarga ideal yang digambarkan dalam media—keluarga yang selalu terlihat hangat dan penuh cinta di mata publik. Namun, kenyataan di balik pintu tertutup jauh berbeda dari apa yang terlihat. Di balik senyuman yang terpampang untuk dunia luar, ada retakan-retakan kecil yang tidak kasat mata. Retakan-retakan ini, meskipun halus dan tidak terlihat, perlahan-lahan membesar, menciptakan celah yang memisahkan apa yang tampak dari apa yang sebenarnya terjadi. Celah-celah ini membuka jalan bagi ketegangan yang secara perlahan tapi pasti menyusup ke setiap sudut rumah, seperti air yang merembes melalui retakan dan pada akhirnya membanjiri segalanya.


Celah-celah ini bukan hanya retakan fisik, tetapi merupakan representasi dari hubungan yang mulai renggang di antara orang tua. Perdebatan yang dulu hanya sebatas percakapan kecil, lambat laun berubah menjadi perdebatan panjang yang tampaknya tidak pernah menemukan titik temu. Setiap diskusi yang awalnya tampak biasa saja, sering kali berubah menjadi adu argumen yang sengit, dengan masing-masing pihak berusaha mempertahankan pendapatnya. Meskipun awalnya perdebatan ini mungkin hanya terjadi sesekali, namun semakin lama semakin sering, dan perdebatan tersebut seakan tidak pernah mencapai kesepakatan. Ada banyak malam di mana suara pertengkaran menggema di dalam rumah, mengganggu keheningan malam yang seharusnya penuh dengan kedamaian. Bahkan ketika malam sudah larut, saat orang-orang lain tertidur dalam kedamaian, rumah ini tetap dipenuhi oleh ketegangan yang tidak kunjung reda. Suara isak tangis dan perdebatan yang menggema di tengah malam seolah menjadi teman setia bagi suasana rumah yang selalu tegang.


Tangisan di dini hari, ketika semuanya seharusnya tenang, menjadi latar belakang kehidupan yang penuh ketidakpastian. Suara tangisan itu bukan hanya sekadar suara, melainkan lambang dari hati yang terluka dan emosi yang tertahan. Tangisan ini perlahan-lahan membekukan hati, membuat segala perasaan terpendam, tak berani diungkapkan. Di dalam rumah ini, perasaan harus disembunyikan, dan menunjukkan kelemahan bukanlah sesuatu yang diizinkan. Setiap emosi yang muncul harus ditekan dalam-dalam, karena kelemahan dianggap sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Belajar untuk menyembunyikan perasaan dan menekan emosi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga perlahan-lahan, kemampuan untuk mengekspresikan diri pun semakin hilang. 


Seiring waktu, kelelahan mulai melanda, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara mental dan emosional. Kebisingan yang terus-menerus bergema di dalam rumah ini membuat ketenangan terasa seperti sesuatu yang mustahil. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan pertempuran, di mana setiap hari dipenuhi oleh suara teriakan, ancaman, dan ketegangan. Setiap langkah, setiap kata, terasa seperti berjalan di atas tali yang sangat tipis, karena satu langkah yang salah bisa memicu kemarahan yang tak terduga. Ketakutan mulai tumbuh dan merasuk dalam setiap tindakan. Takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya, takut akan reaksi dari orang tua, dan takut bahwa hal sekecil apa pun bisa memicu pertengkaran yang lebih besar. Setiap harapan akan ketenangan dan kedamaian mulai sirna, digantikan oleh kecemasan yang terus-menerus menghantui setiap detik kehidupan.


Ancaman bukan lagi sesuatu yang jarang terjadi. Setiap kali ada ketegangan yang meningkat, ancaman-ancaman pun mulai terlontar, seolah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Salah satu ancaman yang paling sering terdengar dan selalu menghantui pikiran adalah kata "cerai." Kata ini kerap kali terucap di tengah perdebatan mereka, terulang seperti sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Setiap kali mendengar kata tersebut, perasaan takut yang dalam selalu muncul. Pikiran tentang perpisahan antara kedua orang tua menjadi bayangan yang paling menakutkan. Kehidupan tanpa keutuhan keluarga terasa seperti sesuatu yang tidak bisa dibayangkan, sesuatu yang begitu menakutkan hingga rasanya lebih baik menghadapi ketegangan yang ada daripada harus kehilangan kebersamaan keluarga.


Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang dulu begitu kuat mulai berubah. Kata "cerai" yang dulunya menjadi sumber ketakutan kini berubah menjadi sesuatu yang diharapkan. Ada harapan samar yang perlahan-lahan muncul—harapan bahwa mungkin, jika perpisahan benar-benar terjadi, semua ketegangan ini akan berakhir. Mungkin, dengan berpisah, segala kebisingan yang selalu mengganggu kehidupan sehari-hari ini akan berhenti. Mungkin, itulah satu-satunya cara agar kedamaian yang selama ini terasa begitu jauh dapat tercapai. Pikiran tentang perpisahan yang dulu terasa seperti akhir dari segalanya, kini justru menjadi harapan akan awal yang baru—awal dari kehidupan yang lebih tenang, lebih damai, tanpa harus terus-menerus hidup dalam ketakutan dan kecemasan.


Namun, di balik harapan itu, ada rasa bersalah yang tak bisa dihindari. Bagaimana mungkin seseorang bisa berharap agar orang tuanya berpisah? Bukankah seharusnya keluarga tetap bersatu, apapun yang terjadi? Rasa bersalah ini terus menghantui setiap kali harapan itu muncul. Meski begitu, harapan ini bukan berasal dari kebencian, melainkan dari keinginan agar semuanya bisa menjadi lebih baik. Mungkin dengan berpisah, orang tua bisa menemukan kebahagiaan mereka masing-masing, kebahagiaan yang mungkin tidak bisa mereka raih jika tetap bersama. Mungkin dengan berjalan di jalan yang berbeda, mereka bisa menemukan kedamaian mereka sendiri, bahkan jika itu berarti perpisahan.

Dibuat dengan sadar di sebuah kamar kos kecil, Di Kota Kediri.

Since 2024

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa & Asa

“Beribu kata rindu untuk Singkarak” Beribu kata rindu tak pernah cukup untuk melukiskan rasa rindu padanya, Singkarak. Setiap kali ingatan kembali pada nama itu, terbayang lagi perjalananku melewati jalan panjang yang berliku-liku, menembus lembah dan bukit yang berdiri kokoh seperti penjaga alam. Di sepanjang jalan Batipuh, setiap tikungan serasa menawarkan cerita baru. Ada udara segar yang menampar wajah, bunyi gemerisik daun di atas kepala, dan riak angin yang seakan membisiki pesan-pesan alam. Setiap langkah membawa dekat pada sebuah surga tersembunyi, dan ketika Singkarak terlihat di kejauhan, hatiku merasa tenang, seolah menemukan kedamaian yang selama ini kucari. Di perjalanan menuju tempat singgah, embun pagi yang menetes dari dedaunan menyegarkan, menciptakan suasana yang magis. Matahari yang mulai muncul di balik bukit menyinari pemandangan, membuatnya seolah berpendar dalam warna-warna alami yang tak bisa tergantikan. Aku bisa merasakan bagaimana Singkarak dengan seluruh pes...

Salah menaruh hati.

“Jika di ingat lama rasanya tidak merasakan Butterfly Era, dan hari ini aku merasakan itu atas kehadirannya, yang ternyata hadirnya hanya menambah luka lama”   Awalnya aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta, tanpa sengaja seseorang datang membawa duplikat cerita lama. Dejavu? Iya, kurasa. Rasa yang sama waktu seseorang di masa lalu hadir di kehidupanku. Berawal saat kamu mengajak untuk berkenalan, ternyata kamu dan aku memiliki banyak kesamaan. Sepekan sudah kita melakukan panggilan suara setiap malam, izinkan aku menceritakannya disini, saat itu aku mendengar dering telepon dari balik handphone, dengan tergesa-gesa aku mengambilnya, ternyata itu kamu. Random sekali malam itu pembicaraan kita berdua, saking randomnya sampai lupa waktu, hehe. Lalu, kamu mengajakku untuk menikmati indahnya panorama, terduduk aku dan kamu disebuah taman kota, dengan jajanan yang sudah di beli bersama.  Entah mengapa aku merasakan kenyamanan saat berada di sebelahmu, kita kemas sore itu ...