Langsung ke konten utama

Rasa & Asa

“Beribu kata rindu untuk Singkarak”

Beribu kata rindu tak pernah cukup untuk melukiskan rasa rindu padanya, Singkarak. Setiap kali ingatan kembali pada nama itu, terbayang lagi perjalananku melewati jalan panjang yang berliku-liku, menembus lembah dan bukit yang berdiri kokoh seperti penjaga alam. Di sepanjang jalan Batipuh, setiap tikungan serasa menawarkan cerita baru. Ada udara segar yang menampar wajah, bunyi gemerisik daun di atas kepala, dan riak angin yang seakan membisiki pesan-pesan alam. Setiap langkah membawa dekat pada sebuah surga tersembunyi, dan ketika Singkarak terlihat di kejauhan, hatiku merasa tenang, seolah menemukan kedamaian yang selama ini kucari.

Di perjalanan menuju tempat singgah, embun pagi yang menetes dari dedaunan menyegarkan, menciptakan suasana yang magis. Matahari yang mulai muncul di balik bukit menyinari pemandangan, membuatnya seolah berpendar dalam warna-warna alami yang tak bisa tergantikan. Aku bisa merasakan bagaimana Singkarak dengan seluruh pesonanya memberikan energi yang baru dan segar, seolah menarik semua kerumitan hidup dan menggantinya dengan keindahan yang jernih. Aku berjalan perlahan, menyusuri jalan yang tak pernah membosankan, menyambut setiap detik yang seakan berkata, "Kau berada di tempat yang tepat."

Saat aku tiba di tepi danau, keheningan mendalam menyelimuti. Biru air Singkarak menyebar sejauh mata memandang, memantulkan bayangan pegunungan yang berdiri anggun di sekelilingnya. Aku berhenti, terpesona oleh keindahan yang terasa nyaris tak tersentuh waktu. Angin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau, menciptakan sebuah suasana yang hanya bisa ditemui di sini, di Singkarak. Rasanya, alam tengah berbicara padaku, berbisik tentang kedamaian yang selalu ada di sini, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar yang sering kali melelahkan. Di tempat ini, aku bisa benar-benar merasakan apa itu tenang.

Setelah menikmati keindahan alam dalam keheningan, aku bertemu seseorang yang sudah lama tak bersua. Kami duduk bersama di tepian danau, saling berbagi cerita, tawa, dan canda yang telah lama tak kami rasakan. Kami membicarakan kehidupan, menertawakan kebodohan masa lalu, dan berbagi mimpi-mimpi yang belum sempat terwujud. Dalam suasana yang begitu hangat, kami menyaksikan matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Langit berubah menjadi kanvas penuh warna; merah, jingga, ungu, dan biru bercampur dalam harmoni sempurna. Rasanya seperti berada di dalam lukisan Tuhan, di mana semua warna alam berpadu tanpa cela. Matahari yang perlahan tenggelam menyisakan cahaya hangat yang lembut, menerpa wajah-wajah kami dengan sentuhan yang begitu tenang dan damai.

Kami duduk dalam keheningan yang nyaman, memandangi danau yang berubah warna seiring dengan tenggelamnya mentari. Di momen itu, aku merasa begitu hidup, seolah-olah semua beban hidup lenyap begitu saja. Aku dan sahabat-sahabatku terbuai dalam keindahan alam Singkarak, dalam rasa damai yang sulit dijelaskan. Waktu seakan berhenti, dan aku berharap bahwa detik-detik itu bisa kuabadikan selamanya, dalam ingatan dan dalam jiwa. Kami berbagi sejenak dalam keheningan, tanpa perlu banyak kata-kata, karena kadang-kadang kebersamaan yang sunyi adalah kebahagiaan yang tak ternilai.

Namun, seperti semua momen indah, waktunya tiba untuk pergi. Malam menjelang, dan kehidupan menunggu untuk dijalani kembali. Dengan berat hati, aku berbalik meninggalkan Singkarak, membawa semua kenangan indah yang terukir di sana. Dalam perjalanan pulang, hatiku penuh dengan rasa resah. Aku tahu bahwa aku harus kembali pada rutinitas, pada hiruk-pikuk keseharian yang sering kali menguras energi dan pikiran. Namun, rindu untuk Singkarak tetap tertinggal, membayangiku sepanjang perjalanan. Terlintas keinginan untuk berhenti, kembali, dan menyatu lagi dengan ketenangan yang hanya bisa kutemukan di danau itu.

Meski tak lagi berada di Singkarak, kenangannya tetap hidup dalam hati. Dalam setiap hembusan napas dan setiap detak jantung, aku membawa bayangan danau yang biru, angin yang berbisik, dan keheningan alam yang begitu murni. Alam Singkarak seakan tersimpan rapi di benakku, menjadi penyemangat ketika kerumitan hidup mulai terasa. Di sanalah aku merasa benar-benar bebas, jauh dari tekanan dan tuntutan. Singkarak bukan sekadar sebuah danau; ia adalah tempatku menemukan diriku sendiri, tempatku merasa damai, tempat di mana aku menyadari bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana yang sering kita abaikan.

Di dalam hati, aku menyimpan sebuah janji. Janji untuk kembali ke Singkarak, untuk merasakan kembali ketenangan yang pernah kurasakan, untuk membiarkan keindahan alam menyembuhkan jiwa yang lelah. Aku tahu, suatu hari nanti aku akan kembali. Akan ada saat di mana aku menyusuri lagi jalanan berliku di Batipuh, merasakan angin yang sama, dan menyaksikan matahari terbenam di tepi danau yang sama. Sampai saat itu tiba, aku akan menyimpan Singkarak di dalam hatiku, sebagai penanda bahwa di sana, di antara bukit dan danau biru itu, ada sebuah tempat yang selalu akan menjadi rumah bagi jiwaku.


Di buat dengan sadar, di lorong kampus biru, Udinus. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebisingan

"Bagaimana jika itu terjadi?"   Ibu sering kali memberikan sebuah nasihat yang sederhana namun penuh dengan makna mendalam, "Nak, carilah pasangan yang berbeda dari ayahmu." Kalimat itu terdengar lembut, tetapi mengandung ketegasan yang sulit untuk diabaikan. Meskipun sering kali terucap dengan nada tenang, ucapan tersebut selalu membekas di ingatan. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik nasihat tersebut, sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran yang mendalam. Pada suatu hari, keinginan untuk memahami sepenuhnya maksud Ibu tidak lagi bisa tertahan, sehingga sebuah pertanyaan muncul, "Mengapa, Bu? Apa yang membuat Ibu berkata seperti itu?" Pertanyaan tersebut terucap dengan hati-hati, berharap bisa memperoleh jawaban yang memuaskan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ibu hanya terdiam, seolah memikirkan sesuatu yang sangat dalam, namun tak kunjung mengungkapkannya. Tidak ada penjelasan yang diberikan, tidak ada kata tambahan yang keluar dari bibirnya. ...

Salah menaruh hati.

“Jika di ingat lama rasanya tidak merasakan Butterfly Era, dan hari ini aku merasakan itu atas kehadirannya, yang ternyata hadirnya hanya menambah luka lama”   Awalnya aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta, tanpa sengaja seseorang datang membawa duplikat cerita lama. Dejavu? Iya, kurasa. Rasa yang sama waktu seseorang di masa lalu hadir di kehidupanku. Berawal saat kamu mengajak untuk berkenalan, ternyata kamu dan aku memiliki banyak kesamaan. Sepekan sudah kita melakukan panggilan suara setiap malam, izinkan aku menceritakannya disini, saat itu aku mendengar dering telepon dari balik handphone, dengan tergesa-gesa aku mengambilnya, ternyata itu kamu. Random sekali malam itu pembicaraan kita berdua, saking randomnya sampai lupa waktu, hehe. Lalu, kamu mengajakku untuk menikmati indahnya panorama, terduduk aku dan kamu disebuah taman kota, dengan jajanan yang sudah di beli bersama.  Entah mengapa aku merasakan kenyamanan saat berada di sebelahmu, kita kemas sore itu ...